Google, Amazon, Facebook dan Apple adalah empat perusahaan besar di bidang teknologi informasi-komunikasi. Kecuali kalau kita menerima kemunduran demokrasi secara radikal, kita tidak bisa membiarkan kemunculan GAFA dan perusahaan-perusahaan lain dari Silicon Valley di ruang politik tanpa mempertanyakan tujuan mereka.
Menteri Luar Negeri Denmark, Anders Samuelsen, mengumumkan pada tanggal 26 Januari 2017, penunjukan jabatan baru : "duta digital" untuk Silicon Valley. Meskipun ruang lingkupnya masih belum jelas, diplomasi semacam ini akan mewakili kepentingan negara Skandinavia kecil dengan raksasa Web seperti Google, Amazon, Facebook atau Apple.
Selama beberapa dekade, akumulasi modal memberikan perkembangan kuat pada para perusahaan besar. Hal inilah yang sekarang ini menjadi jantung dari perdebatan dan perjuangan masyarakat demokratis kita. Situasi semacam itu berkembang di Amerika Serikat sejak akhir abad kesembilan belas ketika Sherman Antitrust Act pada tahun 1890 harus menentukan aturan pertama melawan monopoli.
Selama krisis pada kisaran tahun 1930, perusahaan-perusahaan besar itu dicela sebagai monster, semacam "Perusahaan Frankenstein", menurut judul buku karya Isaac Maurice Wormser (1887-1955), seorang ahli hukum Amerika, yang diterbitkan pada tahun 1931. Kemudian, perusahaan-perusahaan multinasional dianggap sebagai tangan kanan kebijakan politis imperialis Barat di negara-negara Selatan. Perusahaan-perusahaan di Silicon Valley membuka sebuah babak baru dalam sejarah kekuasaan kapitalis ini, bersama dengan kritik dan mutasinya.
"Obyek Politik yang tak teridentifikasi"
Sejauh ini, otoritas publik berusaha untuk mengekang kekuasaan perusahaan-perusahaan besar. Demokrasi modern telah mengembangkan keseimbangan tidak tetap antara kekuatan negara dan akumulasi modal. Aturan tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan penguasaan pendidikan oleh pemerintah, yang menyeimbangkan pengaruh korporasi pada perilaku yang disebabkan oleh konsumsi massa, membantu mengimbangi tren kemampuan korporasi-korporasi multinasional yang terus berkembang.
Sejauh ini, otoritas publik berusaha untuk mengekang kekuasaan perusahaan-perusahaan besar. Demokrasi modern telah mengembangkan keseimbangan tidak tetap antara kekuatan negara dan akumulasi modal. Aturan tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan penguasaan pendidikan oleh pemerintah, yang menyeimbangkan pengaruh korporasi pada perilaku yang disebabkan oleh konsumsi massa, membantu mengimbangi tren kemampuan korporasi-korporasi multinasional yang terus berkembang.
Kedutaan Besar Denmark menciptakan jenis hubungan baru antara negara dan korporasi, karena GAFA membiayai diri mereka sendiri di pasar internasional di mana mereka mencita-citakan adanya sumber daya yang cukup. Hal itu membuat mereka mempunyai kemampuan untuk mengembangkan teknologi yang mempengaruhi cara hidup seluruh planet. Perusahaan-perusahaan ini tidak mengekspor produk dari sebuah bangsa, tapi di mana-mana membentuk model sosial mereka sendiri karena mereka mengontrol ekonomi informasi digital: dengan mengumpulkan data yang pribadi dan menyediakan layanan, koneksi dan teknologi yang membentuk konsumsi, mereka campur tangan secara langsung pada perilaku warga dan pendidikan mereka - yang sebenarnya adalah tugas dan kewajiban negara.
Apa yang dibuat Samuelsen secara implisit menyandingkan korporasi-korporasi besar ini sebagai "negara baru", sesuatu yang tidak benar karena perusahaan-perusahaan di Silicon Valley ini semestinya tidak ambil bagian dalam percaturan politik. Mereka mempekerjakan "hanya" sekitar 300.000 pekerja, namun memiliki pengaruh bagi miliaran konsumen; mereka membayar sedikit pajak melalui optimalisasi fiskal tetapi keberadaan mereka menjamin sebagian besar investasi global dalam inovasi digital, suatu hal yang memperkuat pengaruh mereka. Mereka membangun masa depan dengan mengembangkan program-program kecerdasan buatan, 'big data' atau transhumanisme yang melintasi batas negara.
Misteri tata kelola 'pemerintahan' GAFA
GAFA tampil dalam dua wajah: di satu sisi mereka muncul sebagai perusahaan yang melayani kebutuhan masyarakat akan teknologi komunikasi dan informasi, namun di sisi lain mereka juga muncul bagaikan avatar dari suatu kekuatan politik otonom. Dalam sebuah surat yang diterbitkan di jejaring sosialnya pada 16 Februari 2017, bos Facebook, Mark Zuckerberg, menulis : "Tujuan kami berikutnya adalah mengembangkan infrastruktur sosial bagi masyarakat kita - untuk mendukung, menjaga keamanan kita, memberikan informasi, menyokong keterlibatan masyarakat dan mengakomodir semua pihak."
Kecuali kita menerima kemunduran demokrasi secara radikal, kita tidak dapat melihat korporasi-korporasi ini muncul dalam ruang politik tanpa mempertanyakan tujuan mereka. Siapa yang mengontrol ambisi mereka? Karena perusahaan-perusahaan ini sungguh nyata keberadaannya, bukan sekedar di dunia virtual. Mereka terkonsentrasi di negara bagian AS, California.
Seperti semua perusahaan resmi lainnya, mereka terdaftar di lembaga-lembaga hukum yang memberikan kekuasaan kepada mereka yang menjalankan korporasi-korporasi ini, sehingga melegitimasi ambisi dan kepentingan mereka. Dengan menganggap serius masalah ini, ada kebutuhan mendesak bagi masyarakat internasional untuk menuntut pengungkapan misteri tata kelola 'pemerintahan' korporasi-korporasi besar semacam GAFA.
Diterjemahkan secara bebas dari tulisan :
Pierre-Yves Gomez (Profesor di EM Lyon, Perancis)
Comments
Post a Comment