Menurut Yves Citton, co-direktur majalah "Multitudes", raksasa-raksasa internet mengeksploitasi aset budaya yang beredar secara bebas dan gratis tanpa membiayai pembaharuannya. Sebuah tata pemangsaan secara sistematis dan menghancurkan.
Sistem internet masa kini yang mendukung intarktivitas, yang sering disebut sebagai Web 2.0, berkembang berdasarkan sistem operasi gratis/bebas. Apakah ini model yang berkelanjutan?
Ketika pertukaran file antara individu menjamur di awal tahun 2000-an, kita menyambutnya dengan gembira dengan harapan bahwa setiap orang bisa berbagi dan menikmati secara cuma-cuma kecerdasan kolektif. Waktu itu, kita berharap bahwa reproduksi digital dan distribusinya berlangsung tanpa adanya biaya, dan aset bersama itu bisa dinikmati dengan bebas oleh semua orang tanpa kecuali. Masa 'digitalisme' ini mengandaikankan tata ekonomi 'pemberian secara cuma-cuma' sebagai model pembangunan baru.
Kemudian pada sekitar tahun 2010, pertanyaan baru telah muncul: sampai berapa lama lagi kita akan membiarkan segelintir pemain utama dalam dunia digital mengekploitasi kekayaan bersama yang dihasilkan oleh kerja secara cuma-cuma "cognitariat" (: produksi ilmu pengetahuan oleh para ahli tanpa mengklaim hak milik dan karya intelektual)? Ekploitasi "digitalisme" ini bisa dilukiskan sebagai bentuk lain dari "Extractivisme", suatu ekstraksi sumber daya bahan yang mengakibatkan menipisnya sumber daya alam di Afrika atau di tempat lain.
Bagaimana kita dapat membandingkan penjarahan sumber daya alam di Afrika dengan ekonomi digital?
Dengan cara yang sama bahwa kapitalisme mengekstraksi selama beberapa dekade sumber daya geologi tanpa memperhitungkan pemulihan kerusakan yang mereka hasilkan, ekonomi digital mengeksploitasi aset budaya cuma-cuma tanpa membiayai pembaharuannya, yaitu tanpa membiayai pendidikan, kelompok seniman ataupun peneliti. GAFA (Google, Apple, Facebook, Amazon) memperkaya diri dengan menyerap habis sumber daya kita bersama, baik secara fisik (ekologi), sosial (ketidaksetaraan yang semakin menjadi-jadi) maupun mental (burn-out, hiperaktif, depresi para penganggur).
Oleh karena itu, ketika ekploitasi itu hampir mengeringkan kekayaan kolektif dalam bidang budaya dan intelektual, pertanyaan tentang siapa yang akan membayar untuk pekerjaan ini mengemuka. Sebab, seuatu yang 'cuma-cuma' tergantung pada pendanaan dari atas. Tata pemangsaan nilai budaya secara sistematis menghancurkan masyarakat. Hal itu sekarang memberi dorongan pada tumbuhnya gerakan protes yang kuat dan desain model alternatif yang bertujuan untuk mendefinisikan kembali syarat-syarat untuk produksi budaya secara berkelanjutan, dengan memberi penghargaan pada para produsen, dan bukannya pada para raksasa internet.
Jadi bagaimana membuat ekonomi digital yang berkelanjutan ini?
Keuangan neoliberal, yang mengekplotasi tanpa investasi untuk pembaharuannya, tersebar dalam waktu yang lebih singkat dan lebih pendek. Padahal, produksi peneliti atau desainer membutuhkan investasi pada pendidikan selama dua puluh lima tahun. Terhadap hal ini, kita bisa saja berusaha untuk memaksakan "Copyfarleft" dari Telekommunist Manifesto Dmytri Kleiner, di mana ijazah hanya memungkinkan penggunaan gratis bagi individu dan lembaga yang diselenggarakan sesuai modus kerja sama yang mau memperbaharui aset bersama. Kita juga bisa menggagas pendapatan universal 1000-1200 € dibiayai oleh "pajak pollen" dari 5% atas semua transaksi keuangan, sebagaimana diusulkan oleh Yann Moulier Boutang, yang akan menggantikan semua pajak yang ada dan memungkinkan investasi besar-besaran atas lingkungan, sosial dan budaya.
Diterjemahkan secara bebas dari
wawancara Valérie Segond dengan Yves Citton.
Comments
Post a Comment