Di AS, seperti juga di Perancis, pengguna internet banyak menggunakan jejaring sosial paling populer. Forum semacam ini, yang dikelola oleh algoritma yang diklaim "netral", sungguhkah perlu diperdebatkan keberadaannya?
Ketika Susanna Lazarus terbangun pada hari Jumat, 24 Juni, dan ia menyalakan televisi, ia sungguh terkejut. Negaranya, Inggris, hampir 52% pemilih dalam referendum memilih untuk meninggalkan Uni Eropa. Padahal di hari-hari menjelang referendum, penduduk London berusia 27 tahun ini tidak melihat tanda-tanda bahwa pemilih Brexit akan menang. Di Facebook, kebanyakan teman-temannya, yang juga berasal dari kota kosmopolitan itu, telah berbagi argumen untuk memilih "Tetap" dalam Uni Eropa. Kampanye yang menentang, yaitu dari kubu "Brexit" hampir tidak muncul dalam newsfeed akun medis sosialnya. "Ketika saya pergi tidur tadi malam, saya merasa optimis, dan sebagian besar dari harapan ini datang dari kegembiraan melihat aliran berita di jejaring sosial saya," aku jurnalis ini dalam sebuah artikel di majalah Radio Times, sehari setelah pemungutan suara. Ia pun menyimpulkan dengan pahit: "Kemarin, newsfeed Facebook saya telah memberikan kebohongan besar."
Kesaksian tersebut terbuka untuk kritik. "Terus terang, jika Anda cukup bodoh untuk mempercayai bahwa jejaring sosial akan memberi informasi dan membangun pendapat anda, anda akan mengalami keterkejutan semacam itu," demikian kata Rosemary dari Jenewa dalam komentarnya. Pengguna internet lainnya, David, memberi pendapat lain : "Kita semua cenderung untuk berbincang terutama dengan orang-orang yang berbagi pandangan yang sama." Susanna tidak hidup bersembunyi dalam semacam "gelembung" di sekitar orang-orang yang berpandangan sama seperti dia. Di daerah London, 40% pemilih tidak memilih "meninggalkan UE". Tapi Susanna mustinya menghitung bahwa "teman digital"nya lebih sedikit dari pada mereka yang memilih bertahan di UE itu.
Kesaksian tersebut terbuka untuk kritik. "Terus terang, jika Anda cukup bodoh untuk mempercayai bahwa jejaring sosial akan memberi informasi dan membangun pendapat anda, anda akan mengalami keterkejutan semacam itu," demikian kata Rosemary dari Jenewa dalam komentarnya. Pengguna internet lainnya, David, memberi pendapat lain : "Kita semua cenderung untuk berbincang terutama dengan orang-orang yang berbagi pandangan yang sama." Susanna tidak hidup bersembunyi dalam semacam "gelembung" di sekitar orang-orang yang berpandangan sama seperti dia. Di daerah London, 40% pemilih tidak memilih "meninggalkan UE". Tapi Susanna mustinya menghitung bahwa "teman digital"nya lebih sedikit dari pada mereka yang memilih bertahan di UE itu.
Dari biodata fakultas menjadi sarana untuk berbagi informasi
Benarkah Facebook "membohongi" kita, seperti yang ditulis oleh Londoner muda itu? Masalah ini telah menjadi sangat sensitif, dalam pertimbangan bahwa jejaring sosial yang paling dominan ini telah berkembang menjadi sebuah forum untuk berbagi informasi dan berdebat - padahal awalnya jejaring ini hanyalah semacam repertoar, yang terinspirasi oleh trombinoskop fakultas-fakultas di AS. Dua belas tahun setelah penciptaannya oleh Mark Zuckerberg, Social Network ini - meminjam judul film yang menceritakan asal-usulnya - memiliki 1,13 miliar pengguna harian (termasuk 24 juta di Perancis). Dan di antara mereka, 44% mengatakan bahwa mereka menggunakannya untuk berbagi informasi, demikian menurut Institut Reuters untuk Studi Jurnalistik, Universitas Oxford (UK).
Di jejaring ini, minat pengguna untuk terlibat dalam debat terkait dengan politik dan kebijakan publik sangatlah besar selama masa kampanye untuk pemilu. Dari Januari sampai September 2016, 103 juta orang - setengah dari pengguna Facebook di Amerika - berinteraksi dengan konten berkisar pada pemilihan presiden tanggal 8 November. Bahkan sejak akhir tahun 2015, platform jejaring sosial ini telah memperkirakan bahwa, di AS, pemilu kan menjadi topik pembicaraan pertama dari para penggunanya, melebihi topik tentang serangan teror atau krisis pengungsi.
"Satu hal yang pasti: debat publik terjadi melalui platform ini," kata Axel Calandre, penanggung jawab kampanye digital Nicolas Sarkozy. Survei dari New York Times Magazine mengafirmasi pernyataan tersebut: ribuan laman partisan yang terkumpul di Facebook menyaingi laman situs-situs berita seperti CNN dan New York Times. Media mainstream tidak lagi mendominasi, saat ini ia hanyalah salah satu bagian dari arena publik yang lebih luas, di mana jejaring sosial menempati posisi yang lebih sentral.
Facebook: "Kami tidak memiliki ulasan editorial"
Bias macam apapun yang dihasilkan, media tradisional bekerja dengan aturan yang mencerminkan masyarakat yang demokratis: mereka menyampaikan berbagai sudut pandang, berusaha untuk memberikan keseimbangan dalam berbagai topik yang mereka bahas, dan menghormati perbedaan prinsip. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan tunduk kepada peraturan, seperti radio dan televisi di Perancis, yang tunduk pada aturan CSA untuk menghormati pluralisme dan keseimbangan durasi waktu ketika berbicara tentang politik. Prinsip-prinsip semacam ini tidak akan kita jumpai di jejaring sosial, misalnya di Facebook. Plaform ini tidak dirancang sebagai media. Jejaring ini pada dasarnya adalah "layanan yang memungkinkan Anda untuk terhubung dengan teman dan keluarga," demikian penjelasan manajer produksi, Chris Cox, sahabat dekat Mark Zuckerberg. Oleh karena itu, seperti kata penanggung jawab hubungan politik Facebook, Katie Harbath : "Kami tidak tahu menahu tentang konten yang dimuat pengguna, kami tidak memiliki ulasan editorial." Facebook merupakan "platform jejaring sosial yang netral dan terbuka," ia menegaskan.
Jejaring sosial ini menolak setiap gagasan tanggung jawab editorial/peredaksian. Namun demikian, melalui algoritmanya, Facebook melakukan suatu bentuk seleksi konten. Hal ini dijelaskan dalam dokumen referensi yang diterbitkan pada bulan Juni oleh Facebook untuk menjelaskan "nilai-nilai" dari news feed - suatu aliran konten yang dipilih oleh algoritma untuk dilihat oleh setiap pengguna ketika ia terhubung ke jejaring sosial ini: "Tujuan kami adalah untuk menunjukkan kepada semua orang jenis cerita yang paling mereka inginkan untuk dilihat, seturut dengan indikasi yang ada. Kami melakukannya bukan hanya karena kami percaya bahwa hal itu adalah hal yang baik untuk dilakukan, tetapi juga karena hal itu baik untuk bisnis kami."
Dengan demikian, patut diingat bahwa Facebook pertama-tama adalah sebuah perusahaan pengiklanan. Dalam percaturan perangkat mobile, Facebook bersaing dengan Google dalam memperbutkan tempat teratas dan memperoleh pendapatan sekitar 6 miliar euro pendapatan...per kuartal.
Suatu logika komuniter sempit, terkait dengan sekularisme atau Suriah
Terkait dengan informasi, ada kesenjangan antara Facebook sebagai perusahaan pengiklanan dan tujuan penggunaan Facebook sebagai jejaring sosial. Kesenjangan ini menjelaskan kesialan Susanna Lazarus, dan serangkaian penyampaian pidato baru-baru ini yang menunjuk efek partisi/penyekatan sosial. Di Perancis, para penentang Rancangan Undang-undang perburuhan yang, di Facebook, melihat terutama konten yang memperkuat visi mereka tanpa benar-benar bersinggungan dengan para pembela RUU itu. Atau para penentang burkini yang bertukar pikiran dalam lingkaran pertemanan mereka sendiri, demikian halnya juga, di kubu lawan, mereka yang mengecam Islamophobia. Kurangnya informasi umum, kelompok-kelompok yang berbeda ini tidak akan bisa saling bertemu, berbicara dan berdebat untuk menemukan solusi bersama, suatu hal yang merupakan fondasi budaya demokrasi.
Logika komuniter di Facebook yang bersanding dengan konflik bisa semakin memperburuk situasi. Itulah yang terjadi di Suriah, demikian menurut peneliti Yves Gonzalez-Quijano, spesialis dalam budaya digital dari dunia Arab. Awalnya, ia menjelaskan, Facebook dikaitkan dengan suatu "mitologi positif", yaitu "Musim Semi Arab" pada tahun 2011. Tapi pada tahun itu juga, sebuah blog palsu, "A Gay Girl in Damascus", nampaknya dikelola oleh seorang Amerika, menciptakan permasalahan. Dan kemudian, seiring dengan berkembangnya perang sipil, jejaring sosial justru menjadi "bom molotof di mana wacana penuh kebencian saling berganti dengan video tentang potongan tubuh, penyiksaan, dan gambar-gambar lainnya yang tak terverifikasi." Stereotype dan sudut pandang dipamerkan silih berganti tanpa adanya mediasi, tanpa gagasan akan keseimbangan.
Temuan itulah yang dipaparkan oleh dosen riset dari universitas Lumière Lyon II, dalam sebuah wawancara dengan Big Browser, sebuah blog yang terafiliasi dengan 'le Monde', di musim semi 2016: "Di jejaring sosial internet, kita berselancar melalui serangkaian filter yang dihasilkan oleh orang-orang yang kita "ikuti" atau yang telah kita tambahkan ke dalam daftar "teman". Kita menjadi tidak terbuka sama sekali pada kemungkinan yang lain, sebaliknya, kita hanya memiliki akses pada informasi yang telah disaring oleh jaringan kita sendiri. Kita berputar di sirkuit tertutup."
Di Facebook : jejaring "konservatif" vs jejaring "liberal"
Kampanye presiden AS mengungkapkan juga kekuatan "filter" dari jejaring sosial. Di AS, Facebook mengklasifikasikan penggunanya dalam 98 kategori politik, supaya bisa menargetan iklan dengan lebih baik dan menjualnya pada mereka yang mau beriklan. Pada bulan Mei, Wall Street Journal menciptakan alat untuk membandingkan jejaring pengguna yang diklasifikasikan sebagai "sangat liberal" dengan yang "sangat konservatif."
Hasilnya: dua cara memandang dunia yang berbeda secara radikal. Sebagai contoh, pada masalah pelik seperti aborsi, jejaring "biru" (Liberal) mengunggah video protes di Polandia melawan larangan aborsi, sedangkan jejaring "merah" (Konservatif) menggalang petisi untuk menentang pendanaan publik keluarga berencana.
Bagaimana Facebook bisa menunjukkan kepada kita konten yang sungguh berbeda? Dengan algoritmanya, perusahaan California ini ingin menanggapi berlimpahnya publikasi. Ia pun mendeteksi, untuk setiap pengguna, konten yang paling relevan. Untuk itu, jejaring sosial ini menggunakan informasi yang tersedia secara real time untuk menentukan, di antara semua publikasi dari "teman-teman" seorang pengguna, mereka dengan yang memiliki "afinitas/kedekatan/intensitas hubungan" terbesar; tetapi juga di bagian mana dari news-feed ia harus menampilkan konten tersebut. Di antara ribuan kriteria yang digunakan, kriteria yang paling penting tergantung pada perilaku pengguna : apa yang di-klik, yang dibagikan, yang disukai... Perilaku teman-temannya juga diperhitungkan. Menerima teman di Facebook adalah juga bersedia untuk dipengaruhi oleh pilihannya.
Jika ia tidak mengungkapkan rincian algoritma, jejaring sosial tidak menyembunyikan logika umum: "Berita terbaru yang muncul di News-Feed Anda dipilih berdasarkan aktivitas Anda dan teman-teman Anda di Facebook," demikian penjelasan salah satu halaman bantuan Facebook yang menambahkan: "Jika Anda merasa bahwa Anda tidak melihat semua berita terkini atau Anda melihat di news-feed Anda berita-berita terkini yang tidak menarik bagi Anda, Anda dapat menyesuaikan pengaturan Anda."
Meski demikian, hanya sedikit pengguna yang memanfaatkan kemungkinan ini. Dan menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2015 oleh para peneliti Amerika, 63% dari 40 pengguna yang disurvei bahkan tidak mengetahui bahwa news-feed mereka disaring oleh algoritma Facebook. Jadi ada kemungkinan mereka percaya begitu saja bahwa apa yang mereka lihat dan baca di Facebook adalah suatu berita yang bisa dipercaya begitu saja, padahal berita itu diseleksi berdasarkan perilaku mereka dan teman-temannya di jejaring sosial internet.
Dalam "gelembung filter"
Aktivis politik dan tokoh media Amerika, Eli Pariser memberi nama untuk fenomena ini: "the filter bubbles" (gelembung filter) - judul buku yang diterbitkan pada tahun 2012 (The Filter Bubble, Penguin). Gelembung-gelembung ini menciptakan "auto-propaganda", demikian penjelasnya :
"Anda mengindoktrinasi diri Anda dengan pendapat Anda sendiri. Anda tidak menyadari bahwa apa yang Anda lihat hanyalah salah satu bagian dari gambar yang lebih besar, dan konsekuensinya bagi demokrasi: untuk menjadi warga negara yang baik, Anda harus bisa menempatkan diri di tempat orang lain dan memiliki cara pandang yang menyeluruh. Jika semua yang Anda lihat berakar pada identitas Anda sendiri, hal itu akan menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin." Padahal, Facebook adalah jejaring sosial yang menjadi tempat berkembangnya "gelembung filter", demikian analisis Benoît Thieulin, anggota Dewan Digital Nasional:
"Semua platform memiliki algoritma, tapi Facebook terfokus pada dua efek: Efek pertama terkait dengan sifat dasar dari jejaring sosial simetris yang menghubungkan teman-teman yang Anda terima sebagai teman, berbeda dengan Twitter yang sedikit lebih terbuka dan memungkinkan Anda untuk mengikuti orang yang tidak mengikuti Anda; Efek yang kedua adalah efek dari 'kurungan' algoritmik."
Studi tentang Facebook untuk membebaskan algoritmanya
Untuk mengatasi kritik-kritik di atas, jejaring sosial Facebook telah mempublikasikan dalam jurnal bergengsi Science pada bulan Mei 2015, sebuah studi komprehensif yang mengukur 'pemaparan tentang informasi yang beragam di Facebook', berdasarkan pengamatan atas para pengguna yang menyatakan diri "konservatif" atau "liberal" (9% dari pengguna Facebook di Amerika Serikat). Hasilnya mengkonfirmasi polarisasi dari peredaran konten, tetapi juga ada beberapa kesalahpahaman.
Menurut penelitian itu, jika mereka tereskpos secara acak oleh konten yang dibagikan di Facebook, 45% dari kubu "konservatif" tidak menerima konten dari publikasi resmi kubu politik yang sepaham dengan mereka, kasus yang sama terjadi pada 40% pengguna dari kubu "liberal". Tetapi karena mereka hanya memiliki akses ke publikasi yang dimiliki oleh "teman-teman" mereka, proporsi penerimaan konten "berbeda" hanya berkisar 34% untuk kubu "konservatif" dan 23% untuk kubu "liberal". Kemudian seleksi yang dilakukan oleh algoritma menurunkan lagi prosentase tersebut menjadi 33% dan 22%. Akhirnya, jika kita hanya menghitung link yang akhirnya diklik oleh pengguna, proporsi tersebut menjadi sekitar 29% dan 20%.
Apa yang bisa kita simpulkan? "Di Facebook, Anda terekspos oleh berbagai macam konten, demikian kata Katie Harbath. Mereka yang pro-Clinton dan pro-Trump tidak hanya membahas dukungan di antara mereka sendiri. Ada area bersama." Dan efek gelembung? "Hal ini dekat dengan yang dihadapi dalam kehidupan nyata, jawab mantan penanggung jawab kampanye presiden dari partai Republik Rudy Giuliani. Setiap orang memiliki teman yang berpikir seperti dia, tetapi juga orang lain yang memiliki pendapat yang berbeda."
Pembentukan group sosial, sekat antara pembaca surat kabar "L'Humanité" dan "Le Figaro"
"Pelajaran dari studi Facebook adalah bahwa filter ada di dalam kita, demikian kata Dominique Cardon, peneliti di laboratorium studi pengguna Orange dan penulis À quoi rêvent les algorithmes ? (Seuil, oktober 2015). Gelembung, kitalah yang menciptakannya. Dengan suatu mekanisme khas reproduksi sosial. Filter yang senyatanya adalah pilihan teman-teman kita, lebih dari pada algoritma Facebook."
Menurut beberapa penelitian, lingkaran teman-teman Facebook, yang seringkali begitu saja diterima dan tanpa komitmen, lebih luas dari pada lingkaran orang-orang yang secara teratur berjumpa dalam kehidupan nyata, dan dengan demikian lebih heterogen, kecuali dalam kasus lingkaran individu yang dipolitisir. Sebaliknya, seperti yang ditunjukkan oleh sebuah studi oleh Pew Research Center yang dipublikasikan pada akhir Oktober lalu, mayoritas orang Amerika menilai bahwa pembicaraan tentang politik di jejaring sosial membuat "stres dan frustasi", apalagi pembicaraan dan debat dengan orang-orang dari lingkaran politik yang berbeda. Sejarawan media, Patrick Eveno mengingatkan bahwa penelitian tentang 'pengelompokan group sosial' bukanlah hal yang baru : "Pembaca reguler 'L'Humanité' pada tahun 1950an tidak akan pernah membaca 'Le Figaro', 'Le Monde' ataupun 'La Croix'; dan demikian sebaliknya."
Oleh karena itu, para pendukung jejaring sosial percaya bahwa polarisasi yang terjadi di jejaring sosial hanyalah reproduksi dari sitem relasi sosial dalam masyarakat riil : "Selama dua puluh tahun ini, AS semakin terpolarisasi secara politis," demikian tegas Katie Harbath. Perangkat lunak dan sistem algoritmik hanyalah cerminan dari keretakan demokrasi yang sudah ada dalam masyarakat, yang terdiri dari berbagai kelompok yang saling bertentangan. Namun jika kita lihat lebih dalam, perbedaan utama terletak pada kesadaran akan pilihan, sebab bagaimanapun juga: sekat yang terjadi antara pembaca surat kabar "L'Humanité" dan "Le Figaro" adalah suatu pilihan aktif, suatu keterlibatan secara sadar dalam aliran politik tertentu. Pilihan yang dibuat di jejaring sosial Facebook seringkali dibuat secara tidak sadar atau bahkan otomatis.
Permainan iklan politik dengan target pengguna tertentu di Facebook
Fragmentasi yang terjadi di jejaring sosial diperparah oleh efek dari pemasaran politik, yang saat ini menjadi semakin intens di Facebook, meskipun, untuk kelompok yang menggunakannya, hal itu juga merupakan jalan keluar dari lingkaran tetap mereka. Sebagian dari iklan politik memang diakuisisi oleh partai politik, kandidat atau lobi-lobi yang "mensponsori" postingan yang ditujukan kepada para pengguna yang ditargetkan berdasarkan usia, jenis kelamin, minat, tempat tinggal, profesi, dll. Misalnya, di pedesaan Prancis, yang berhaluan politik kanan, Alain Juppé, Nicolas Sarkozy dan François Fillon dapat mempostingkan/menyampaikan program mereka soal kesehatan kepada orang-orang yang menyukai laman sebuah organisasi dokter umum, atau video wacana pendidikan bagi para guru. Terjadi secara massif di AS, iklan politik ini juga tersebar luas di Perancis tapi dilarang dalam periode enam bulan sebelum pemilu - dengan demikian sejak 1 Oktober, untuk menghadapi pemilihan presiden 2017 (di mana putaran pertama akan diadakan pada tanggal 23 april ).
"Selama masa kampanye, Facebook memungkinkan peningkatan mobilisasi dalam gelembung, di mana para kandidat bisa menyebarkan ide-idenya ke berbagai tipe pengguna jejaring sosial," kata Elliot Lepers, spesialis dalam kampanye online. "Dengan permainan "share", kelompok masyarakat yang dapat kita sentuh bagaimanapun juga masih lebih luas dari pada sebelum munculnya jejaring sosial," demikian kata Gautier Guignard, kepala kampanye digital Francois Fillon, yang seperti halnya dengan Alain Juppe, memiliki 150.000 fans di laman resmi Facebook mereka, sedangkan Nicolas Sarkozy memiliki hampir satu juta.
Mengutamakan konten yang paling sederhana, yang dirumuskan dengan baik?
Dalam politik, pencarian audiens dilakukan dengan aturan yang sama seperti di bidang lainnya, dan platform jejaring sosial cenderung mengutamakan konten yang lebih sederhana atau yang dirumuskan dengan lebih baik. Hal ini terkait dengan mekanisme 'share': konten yang memicu emosi pengguna adalah konten yang paling banyak dibagikan, dan karenanya algoritma lebih memprioritaskannya.
"Aturan main" ini memiliki dampak pada produksi media, tetapi juga pada ekspresi politik. Prinsip yang sama juga menyentuh istana kepresidenan, di mana François Hollande sejak musim panas akan mengumumkan di Facebook berbagai pesan pribadi, suatu hal yang berbeda dengan cara komunikasi kepresidenan sebelumnya yang lebih institusional.
Beberapa pelaku adalah spesialis dalam logika rumor/buzz ini: ribuan laman aktivis tidak resmi yang, baik di AS maupun di Perancis, telah menjadi pusat pada pengelompokan sosial tertentu, misalnya Manif pour tous atau antihollandisme - satu laman seperti "Hollande dégage" mengumpulkan lebih dari 800.000 fans. Bagi Zeynep Tufekci, penulis kronik yang diterbitkan pada bulan Mei lalu di New York Times mengatakan:
"Di Facebook, 'share' dan komentar banyak terjadi pada konten yang menghasilkan sukacita yang tidak konvensional atau kemarahan yang mendalam, atau yang menjadi viral, baik hoax, teori konspirasi, foto bayi atau pun informasi penting. "
Asisten dosen di University of North Carolina ini menunjukkan bahwa, sebagai konsekuensinya, di jaringan yang dibuat oleh Mark Zuckerberg ini, "Donald Trump tampil lebih baik daripada kandidat lainnya."
Anti-globalisasi, "kelompok pendukung fasisme"... balas dendam kaum minoritas di media tradisional
"Saat ini, tampaknya orang-orang yang paling diuntungkan oleh jejaring sosial adalah Trump dan Isis," demikian rangkum Benoît Thieulin. Di Perancis, hal tersebut dibuktikan dengan apa yang terjadi pada jaringan "kelompok pendukung fasisme", kelompok inti partai ekstrim kanan ini sangat aktif secara online. Mereka yang menganggap diri sebagai serdadu dari "re-informasi" mengintegrasikan fakta bahwa algoritma "tidak memiliki kesadaran politik" dan memperlakukan semua pandangan pada kedudukan yang sama.
Selain ekstrim kanan, kelompok minoritas lainnya di media adalah kelompok anti-globalisasi, mereka yang mengatakan "tidak" dalam referendum Eropa pada tahun 2005 atau pun para pembela kebebasan internet, mereka juga diuntungkan dengan dari relay/share yang sulit didapat di luar jejaring sosial, demikian kata Benoît Thieulin, yang, seperti kandidat partai kanan menunjuk "kemajuan demokratis" yang dibawa oleh Facebook.
Pasca-kebenaran dan "sampah alam semesta"
Radikalisme yang ditemukan di jejaring sosial adalah hasil dari kerja yang dilakukan oleh para aktivis yang merasa ditinggalkan oleh media tradisional. Dalam pertempuran bawah tanah ini, Facebook tidak memberikan batasan dan popularitas konten lebih diutamakan dari pada kebenaran isinya - inilah persimpangan lain di jejaring sosial. Pada titik kemunculan masyarakat "pasca-kebenaran", menurut judul forum yang ditulis oleh Katherine Viner, editor kepala Guardian. Dengan demikian, informasi palsu bukanlah hal yang baru, dia mengakuinya dalam artikel yang ditulis setelah trauma dari kampanye Brexit yang penuh kepura-puraan : "Apa yang baru adalah bahwa hari ini, kita membaca rumor dan kebohongan sama seringnya dengan membaca tulisan di atas batu - dan kadang-kadang bahkan lebih sering."
Kesimpulan tersebut menggemakan verifikasi yang dilakukan oleh situs Buzzfeed pada 1000 publikasi dari enam laman Facebook dari kelompok ultra-partisan Amerika: 38% dari isinya "palsu atau menyesatkan" pada laman kelompok kanan, 19% pada laman kelompok kiri.
Di Perancis, Alain Juppé pernah mengeluhkan secara terbuka dalam sebuah wawancara dengan Journal du dimanche, bahwa dia menjadi target "omong kosong", di Facebook terutama: "Jejaring sosial adalah semacam sampah alam semesta; di sana saya membaca kebohongan bahwa saya adalah "Ali Juppé", saya akan "menikah dengan seorang muslimah", saya akan menjadi "mufti agung dari Bordeaux", saya akan membangun "masjid terbesar di Eropa" ... " Tim dari para kandidat juga berpikir untuk meluncurkan suatu "sel" pembongkaran rumor yang terinspirasikan oleh rubrik pers "fast-checking", seperti 'Decodeur' dar surat kabar 'Le Monde' atau 'Desintox' dari 'Libération', demikian dijelaskan oleh Eve Zuckerman, kepala kampanye digitalnya.
Menghadapi berbagai kritikan, Zuckerberg bertahan pada posisinya: "Kami adalah perusahaan teknologi, bukan media," ulang pendiri utama Facebook ini pada akhir Agustus lalu, ketika selama lawatannya ke Jerman, beberapa pihak menganggapnya tidak melawan secara aktif berbagai ujaran kebencian di jejaring sosial. Namun pertanyaan tentang tanggung jawab yang harus ditanggung oleh perusahaan sebagai imbalan atas perannya yang terus bertumbuh dalam bidang informasi dan debat publik, kini dengan jelas diajukan. Dan meskipun berbagai wacana yang serupa, Facebook tidak kebal terhadap tekanan: Ia akhirnya melunakkan diri dengan mengizinkan peredaran "Gadis kecil napalm" foto terkenal dari Nick Ut, simbol Perang Vietnam, setelah sensor sebelumnya terkait dengan ketelanjangan. Ia juga meluncurkan, bersama Google dan koalisi yang luas dengan media, proyek 'Firstdraft' yang bertujuan untuk memerangi manipulasi informasi.
Desakan untuk perubahan Facebook, bahkan dari Angela Merkel
Di luar upaya Facebook sendiri, ada berbagai desakan untuk membuat semacam regulasi atau "penyeimbangan" bagi perangkat lunak platform jejaring sosial. "Algoritma Anda harus memberikan ruang bagi pandangan yang berlawanan dan bagi informasi penting, tidak hanya bagi konten yang paling populer atau paling meyakinkan", demikian seru Eli Pariser pada para bos Facebook atau Google, dalam konferensinya di tahun 2011. Namun apakah para pengguna menginginkannya?
Pengetahuan tentang cara kerja algoritma, dan karenanya cara kerja Facebook sendiri, telah menjadi isu demokrasi. "Saya percaya bahwa algoritma haruslah transparan sehingga para pengguna sadar akan efek yang bisa mereka dapatkan atas penggunaan media sosial mereka," demikian tegas Kanselir Jerman Angela Merkel pada pembukaan pekan Media di Munich, 25 Oktober lalu. "Kita harus mengetahui prakonsepsi mereka tentang dunia," demikian pendapat Bruno Patino, direktur editorial Arte. Thieulin dan Cardon, seperti yang lain, menekankan perlunya dikembangkan "budaya kritis" dan "pendidikan" algoritma.
"Setelah masa di mana teknologi membawa kemajuan besar dalam debat publik, kita melihat periode reaksi, demikian pikir Benoît Thieulin. Kita seakan menghadapi penyakit kekanak-kanakan dari jejaring sosial, dengan diskusi real time yang dangkal dan complotisme... Saat ini kita hanya belum menemukan cara ampuh untuk mengobatinya."
"Satu hal yang pasti: debat publik terjadi melalui platform ini," kata Axel Calandre, penanggung jawab kampanye digital Nicolas Sarkozy. Survei dari New York Times Magazine mengafirmasi pernyataan tersebut: ribuan laman partisan yang terkumpul di Facebook menyaingi laman situs-situs berita seperti CNN dan New York Times. Media mainstream tidak lagi mendominasi, saat ini ia hanyalah salah satu bagian dari arena publik yang lebih luas, di mana jejaring sosial menempati posisi yang lebih sentral.
Facebook: "Kami tidak memiliki ulasan editorial"
Bias macam apapun yang dihasilkan, media tradisional bekerja dengan aturan yang mencerminkan masyarakat yang demokratis: mereka menyampaikan berbagai sudut pandang, berusaha untuk memberikan keseimbangan dalam berbagai topik yang mereka bahas, dan menghormati perbedaan prinsip. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan tunduk kepada peraturan, seperti radio dan televisi di Perancis, yang tunduk pada aturan CSA untuk menghormati pluralisme dan keseimbangan durasi waktu ketika berbicara tentang politik. Prinsip-prinsip semacam ini tidak akan kita jumpai di jejaring sosial, misalnya di Facebook. Plaform ini tidak dirancang sebagai media. Jejaring ini pada dasarnya adalah "layanan yang memungkinkan Anda untuk terhubung dengan teman dan keluarga," demikian penjelasan manajer produksi, Chris Cox, sahabat dekat Mark Zuckerberg. Oleh karena itu, seperti kata penanggung jawab hubungan politik Facebook, Katie Harbath : "Kami tidak tahu menahu tentang konten yang dimuat pengguna, kami tidak memiliki ulasan editorial." Facebook merupakan "platform jejaring sosial yang netral dan terbuka," ia menegaskan.
Jejaring sosial ini menolak setiap gagasan tanggung jawab editorial/peredaksian. Namun demikian, melalui algoritmanya, Facebook melakukan suatu bentuk seleksi konten. Hal ini dijelaskan dalam dokumen referensi yang diterbitkan pada bulan Juni oleh Facebook untuk menjelaskan "nilai-nilai" dari news feed - suatu aliran konten yang dipilih oleh algoritma untuk dilihat oleh setiap pengguna ketika ia terhubung ke jejaring sosial ini: "Tujuan kami adalah untuk menunjukkan kepada semua orang jenis cerita yang paling mereka inginkan untuk dilihat, seturut dengan indikasi yang ada. Kami melakukannya bukan hanya karena kami percaya bahwa hal itu adalah hal yang baik untuk dilakukan, tetapi juga karena hal itu baik untuk bisnis kami."
Dengan demikian, patut diingat bahwa Facebook pertama-tama adalah sebuah perusahaan pengiklanan. Dalam percaturan perangkat mobile, Facebook bersaing dengan Google dalam memperbutkan tempat teratas dan memperoleh pendapatan sekitar 6 miliar euro pendapatan...per kuartal.
Suatu logika komuniter sempit, terkait dengan sekularisme atau Suriah
Terkait dengan informasi, ada kesenjangan antara Facebook sebagai perusahaan pengiklanan dan tujuan penggunaan Facebook sebagai jejaring sosial. Kesenjangan ini menjelaskan kesialan Susanna Lazarus, dan serangkaian penyampaian pidato baru-baru ini yang menunjuk efek partisi/penyekatan sosial. Di Perancis, para penentang Rancangan Undang-undang perburuhan yang, di Facebook, melihat terutama konten yang memperkuat visi mereka tanpa benar-benar bersinggungan dengan para pembela RUU itu. Atau para penentang burkini yang bertukar pikiran dalam lingkaran pertemanan mereka sendiri, demikian halnya juga, di kubu lawan, mereka yang mengecam Islamophobia. Kurangnya informasi umum, kelompok-kelompok yang berbeda ini tidak akan bisa saling bertemu, berbicara dan berdebat untuk menemukan solusi bersama, suatu hal yang merupakan fondasi budaya demokrasi.
Logika komuniter di Facebook yang bersanding dengan konflik bisa semakin memperburuk situasi. Itulah yang terjadi di Suriah, demikian menurut peneliti Yves Gonzalez-Quijano, spesialis dalam budaya digital dari dunia Arab. Awalnya, ia menjelaskan, Facebook dikaitkan dengan suatu "mitologi positif", yaitu "Musim Semi Arab" pada tahun 2011. Tapi pada tahun itu juga, sebuah blog palsu, "A Gay Girl in Damascus", nampaknya dikelola oleh seorang Amerika, menciptakan permasalahan. Dan kemudian, seiring dengan berkembangnya perang sipil, jejaring sosial justru menjadi "bom molotof di mana wacana penuh kebencian saling berganti dengan video tentang potongan tubuh, penyiksaan, dan gambar-gambar lainnya yang tak terverifikasi." Stereotype dan sudut pandang dipamerkan silih berganti tanpa adanya mediasi, tanpa gagasan akan keseimbangan.
Temuan itulah yang dipaparkan oleh dosen riset dari universitas Lumière Lyon II, dalam sebuah wawancara dengan Big Browser, sebuah blog yang terafiliasi dengan 'le Monde', di musim semi 2016: "Di jejaring sosial internet, kita berselancar melalui serangkaian filter yang dihasilkan oleh orang-orang yang kita "ikuti" atau yang telah kita tambahkan ke dalam daftar "teman". Kita menjadi tidak terbuka sama sekali pada kemungkinan yang lain, sebaliknya, kita hanya memiliki akses pada informasi yang telah disaring oleh jaringan kita sendiri. Kita berputar di sirkuit tertutup."
Di Facebook : jejaring "konservatif" vs jejaring "liberal"
Kampanye presiden AS mengungkapkan juga kekuatan "filter" dari jejaring sosial. Di AS, Facebook mengklasifikasikan penggunanya dalam 98 kategori politik, supaya bisa menargetan iklan dengan lebih baik dan menjualnya pada mereka yang mau beriklan. Pada bulan Mei, Wall Street Journal menciptakan alat untuk membandingkan jejaring pengguna yang diklasifikasikan sebagai "sangat liberal" dengan yang "sangat konservatif."
Hasilnya: dua cara memandang dunia yang berbeda secara radikal. Sebagai contoh, pada masalah pelik seperti aborsi, jejaring "biru" (Liberal) mengunggah video protes di Polandia melawan larangan aborsi, sedangkan jejaring "merah" (Konservatif) menggalang petisi untuk menentang pendanaan publik keluarga berencana.
Bagaimana Facebook bisa menunjukkan kepada kita konten yang sungguh berbeda? Dengan algoritmanya, perusahaan California ini ingin menanggapi berlimpahnya publikasi. Ia pun mendeteksi, untuk setiap pengguna, konten yang paling relevan. Untuk itu, jejaring sosial ini menggunakan informasi yang tersedia secara real time untuk menentukan, di antara semua publikasi dari "teman-teman" seorang pengguna, mereka dengan yang memiliki "afinitas/kedekatan/intensitas hubungan" terbesar; tetapi juga di bagian mana dari news-feed ia harus menampilkan konten tersebut. Di antara ribuan kriteria yang digunakan, kriteria yang paling penting tergantung pada perilaku pengguna : apa yang di-klik, yang dibagikan, yang disukai... Perilaku teman-temannya juga diperhitungkan. Menerima teman di Facebook adalah juga bersedia untuk dipengaruhi oleh pilihannya.
Jika ia tidak mengungkapkan rincian algoritma, jejaring sosial tidak menyembunyikan logika umum: "Berita terbaru yang muncul di News-Feed Anda dipilih berdasarkan aktivitas Anda dan teman-teman Anda di Facebook," demikian penjelasan salah satu halaman bantuan Facebook yang menambahkan: "Jika Anda merasa bahwa Anda tidak melihat semua berita terkini atau Anda melihat di news-feed Anda berita-berita terkini yang tidak menarik bagi Anda, Anda dapat menyesuaikan pengaturan Anda."
Meski demikian, hanya sedikit pengguna yang memanfaatkan kemungkinan ini. Dan menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2015 oleh para peneliti Amerika, 63% dari 40 pengguna yang disurvei bahkan tidak mengetahui bahwa news-feed mereka disaring oleh algoritma Facebook. Jadi ada kemungkinan mereka percaya begitu saja bahwa apa yang mereka lihat dan baca di Facebook adalah suatu berita yang bisa dipercaya begitu saja, padahal berita itu diseleksi berdasarkan perilaku mereka dan teman-temannya di jejaring sosial internet.
Dalam "gelembung filter"
Aktivis politik dan tokoh media Amerika, Eli Pariser memberi nama untuk fenomena ini: "the filter bubbles" (gelembung filter) - judul buku yang diterbitkan pada tahun 2012 (The Filter Bubble, Penguin). Gelembung-gelembung ini menciptakan "auto-propaganda", demikian penjelasnya :
"Anda mengindoktrinasi diri Anda dengan pendapat Anda sendiri. Anda tidak menyadari bahwa apa yang Anda lihat hanyalah salah satu bagian dari gambar yang lebih besar, dan konsekuensinya bagi demokrasi: untuk menjadi warga negara yang baik, Anda harus bisa menempatkan diri di tempat orang lain dan memiliki cara pandang yang menyeluruh. Jika semua yang Anda lihat berakar pada identitas Anda sendiri, hal itu akan menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin." Padahal, Facebook adalah jejaring sosial yang menjadi tempat berkembangnya "gelembung filter", demikian analisis Benoît Thieulin, anggota Dewan Digital Nasional:
"Semua platform memiliki algoritma, tapi Facebook terfokus pada dua efek: Efek pertama terkait dengan sifat dasar dari jejaring sosial simetris yang menghubungkan teman-teman yang Anda terima sebagai teman, berbeda dengan Twitter yang sedikit lebih terbuka dan memungkinkan Anda untuk mengikuti orang yang tidak mengikuti Anda; Efek yang kedua adalah efek dari 'kurungan' algoritmik."
Studi tentang Facebook untuk membebaskan algoritmanya
Untuk mengatasi kritik-kritik di atas, jejaring sosial Facebook telah mempublikasikan dalam jurnal bergengsi Science pada bulan Mei 2015, sebuah studi komprehensif yang mengukur 'pemaparan tentang informasi yang beragam di Facebook', berdasarkan pengamatan atas para pengguna yang menyatakan diri "konservatif" atau "liberal" (9% dari pengguna Facebook di Amerika Serikat). Hasilnya mengkonfirmasi polarisasi dari peredaran konten, tetapi juga ada beberapa kesalahpahaman.
Menurut penelitian itu, jika mereka tereskpos secara acak oleh konten yang dibagikan di Facebook, 45% dari kubu "konservatif" tidak menerima konten dari publikasi resmi kubu politik yang sepaham dengan mereka, kasus yang sama terjadi pada 40% pengguna dari kubu "liberal". Tetapi karena mereka hanya memiliki akses ke publikasi yang dimiliki oleh "teman-teman" mereka, proporsi penerimaan konten "berbeda" hanya berkisar 34% untuk kubu "konservatif" dan 23% untuk kubu "liberal". Kemudian seleksi yang dilakukan oleh algoritma menurunkan lagi prosentase tersebut menjadi 33% dan 22%. Akhirnya, jika kita hanya menghitung link yang akhirnya diklik oleh pengguna, proporsi tersebut menjadi sekitar 29% dan 20%.
Apa yang bisa kita simpulkan? "Di Facebook, Anda terekspos oleh berbagai macam konten, demikian kata Katie Harbath. Mereka yang pro-Clinton dan pro-Trump tidak hanya membahas dukungan di antara mereka sendiri. Ada area bersama." Dan efek gelembung? "Hal ini dekat dengan yang dihadapi dalam kehidupan nyata, jawab mantan penanggung jawab kampanye presiden dari partai Republik Rudy Giuliani. Setiap orang memiliki teman yang berpikir seperti dia, tetapi juga orang lain yang memiliki pendapat yang berbeda."
Pembentukan group sosial, sekat antara pembaca surat kabar "L'Humanité" dan "Le Figaro"
"Pelajaran dari studi Facebook adalah bahwa filter ada di dalam kita, demikian kata Dominique Cardon, peneliti di laboratorium studi pengguna Orange dan penulis À quoi rêvent les algorithmes ? (Seuil, oktober 2015). Gelembung, kitalah yang menciptakannya. Dengan suatu mekanisme khas reproduksi sosial. Filter yang senyatanya adalah pilihan teman-teman kita, lebih dari pada algoritma Facebook."
Menurut beberapa penelitian, lingkaran teman-teman Facebook, yang seringkali begitu saja diterima dan tanpa komitmen, lebih luas dari pada lingkaran orang-orang yang secara teratur berjumpa dalam kehidupan nyata, dan dengan demikian lebih heterogen, kecuali dalam kasus lingkaran individu yang dipolitisir. Sebaliknya, seperti yang ditunjukkan oleh sebuah studi oleh Pew Research Center yang dipublikasikan pada akhir Oktober lalu, mayoritas orang Amerika menilai bahwa pembicaraan tentang politik di jejaring sosial membuat "stres dan frustasi", apalagi pembicaraan dan debat dengan orang-orang dari lingkaran politik yang berbeda. Sejarawan media, Patrick Eveno mengingatkan bahwa penelitian tentang 'pengelompokan group sosial' bukanlah hal yang baru : "Pembaca reguler 'L'Humanité' pada tahun 1950an tidak akan pernah membaca 'Le Figaro', 'Le Monde' ataupun 'La Croix'; dan demikian sebaliknya."
Oleh karena itu, para pendukung jejaring sosial percaya bahwa polarisasi yang terjadi di jejaring sosial hanyalah reproduksi dari sitem relasi sosial dalam masyarakat riil : "Selama dua puluh tahun ini, AS semakin terpolarisasi secara politis," demikian tegas Katie Harbath. Perangkat lunak dan sistem algoritmik hanyalah cerminan dari keretakan demokrasi yang sudah ada dalam masyarakat, yang terdiri dari berbagai kelompok yang saling bertentangan. Namun jika kita lihat lebih dalam, perbedaan utama terletak pada kesadaran akan pilihan, sebab bagaimanapun juga: sekat yang terjadi antara pembaca surat kabar "L'Humanité" dan "Le Figaro" adalah suatu pilihan aktif, suatu keterlibatan secara sadar dalam aliran politik tertentu. Pilihan yang dibuat di jejaring sosial Facebook seringkali dibuat secara tidak sadar atau bahkan otomatis.
Permainan iklan politik dengan target pengguna tertentu di Facebook
Fragmentasi yang terjadi di jejaring sosial diperparah oleh efek dari pemasaran politik, yang saat ini menjadi semakin intens di Facebook, meskipun, untuk kelompok yang menggunakannya, hal itu juga merupakan jalan keluar dari lingkaran tetap mereka. Sebagian dari iklan politik memang diakuisisi oleh partai politik, kandidat atau lobi-lobi yang "mensponsori" postingan yang ditujukan kepada para pengguna yang ditargetkan berdasarkan usia, jenis kelamin, minat, tempat tinggal, profesi, dll. Misalnya, di pedesaan Prancis, yang berhaluan politik kanan, Alain Juppé, Nicolas Sarkozy dan François Fillon dapat mempostingkan/menyampaikan program mereka soal kesehatan kepada orang-orang yang menyukai laman sebuah organisasi dokter umum, atau video wacana pendidikan bagi para guru. Terjadi secara massif di AS, iklan politik ini juga tersebar luas di Perancis tapi dilarang dalam periode enam bulan sebelum pemilu - dengan demikian sejak 1 Oktober, untuk menghadapi pemilihan presiden 2017 (di mana putaran pertama akan diadakan pada tanggal 23 april ).
"Selama masa kampanye, Facebook memungkinkan peningkatan mobilisasi dalam gelembung, di mana para kandidat bisa menyebarkan ide-idenya ke berbagai tipe pengguna jejaring sosial," kata Elliot Lepers, spesialis dalam kampanye online. "Dengan permainan "share", kelompok masyarakat yang dapat kita sentuh bagaimanapun juga masih lebih luas dari pada sebelum munculnya jejaring sosial," demikian kata Gautier Guignard, kepala kampanye digital Francois Fillon, yang seperti halnya dengan Alain Juppe, memiliki 150.000 fans di laman resmi Facebook mereka, sedangkan Nicolas Sarkozy memiliki hampir satu juta.
Mengutamakan konten yang paling sederhana, yang dirumuskan dengan baik?
Dalam politik, pencarian audiens dilakukan dengan aturan yang sama seperti di bidang lainnya, dan platform jejaring sosial cenderung mengutamakan konten yang lebih sederhana atau yang dirumuskan dengan lebih baik. Hal ini terkait dengan mekanisme 'share': konten yang memicu emosi pengguna adalah konten yang paling banyak dibagikan, dan karenanya algoritma lebih memprioritaskannya.
"Aturan main" ini memiliki dampak pada produksi media, tetapi juga pada ekspresi politik. Prinsip yang sama juga menyentuh istana kepresidenan, di mana François Hollande sejak musim panas akan mengumumkan di Facebook berbagai pesan pribadi, suatu hal yang berbeda dengan cara komunikasi kepresidenan sebelumnya yang lebih institusional.
Beberapa pelaku adalah spesialis dalam logika rumor/buzz ini: ribuan laman aktivis tidak resmi yang, baik di AS maupun di Perancis, telah menjadi pusat pada pengelompokan sosial tertentu, misalnya Manif pour tous atau antihollandisme - satu laman seperti "Hollande dégage" mengumpulkan lebih dari 800.000 fans. Bagi Zeynep Tufekci, penulis kronik yang diterbitkan pada bulan Mei lalu di New York Times mengatakan:
"Di Facebook, 'share' dan komentar banyak terjadi pada konten yang menghasilkan sukacita yang tidak konvensional atau kemarahan yang mendalam, atau yang menjadi viral, baik hoax, teori konspirasi, foto bayi atau pun informasi penting. "
Asisten dosen di University of North Carolina ini menunjukkan bahwa, sebagai konsekuensinya, di jaringan yang dibuat oleh Mark Zuckerberg ini, "Donald Trump tampil lebih baik daripada kandidat lainnya."
Anti-globalisasi, "kelompok pendukung fasisme"... balas dendam kaum minoritas di media tradisional
"Saat ini, tampaknya orang-orang yang paling diuntungkan oleh jejaring sosial adalah Trump dan Isis," demikian rangkum Benoît Thieulin. Di Perancis, hal tersebut dibuktikan dengan apa yang terjadi pada jaringan "kelompok pendukung fasisme", kelompok inti partai ekstrim kanan ini sangat aktif secara online. Mereka yang menganggap diri sebagai serdadu dari "re-informasi" mengintegrasikan fakta bahwa algoritma "tidak memiliki kesadaran politik" dan memperlakukan semua pandangan pada kedudukan yang sama.
Selain ekstrim kanan, kelompok minoritas lainnya di media adalah kelompok anti-globalisasi, mereka yang mengatakan "tidak" dalam referendum Eropa pada tahun 2005 atau pun para pembela kebebasan internet, mereka juga diuntungkan dengan dari relay/share yang sulit didapat di luar jejaring sosial, demikian kata Benoît Thieulin, yang, seperti kandidat partai kanan menunjuk "kemajuan demokratis" yang dibawa oleh Facebook.
Pasca-kebenaran dan "sampah alam semesta"
Radikalisme yang ditemukan di jejaring sosial adalah hasil dari kerja yang dilakukan oleh para aktivis yang merasa ditinggalkan oleh media tradisional. Dalam pertempuran bawah tanah ini, Facebook tidak memberikan batasan dan popularitas konten lebih diutamakan dari pada kebenaran isinya - inilah persimpangan lain di jejaring sosial. Pada titik kemunculan masyarakat "pasca-kebenaran", menurut judul forum yang ditulis oleh Katherine Viner, editor kepala Guardian. Dengan demikian, informasi palsu bukanlah hal yang baru, dia mengakuinya dalam artikel yang ditulis setelah trauma dari kampanye Brexit yang penuh kepura-puraan : "Apa yang baru adalah bahwa hari ini, kita membaca rumor dan kebohongan sama seringnya dengan membaca tulisan di atas batu - dan kadang-kadang bahkan lebih sering."
Kesimpulan tersebut menggemakan verifikasi yang dilakukan oleh situs Buzzfeed pada 1000 publikasi dari enam laman Facebook dari kelompok ultra-partisan Amerika: 38% dari isinya "palsu atau menyesatkan" pada laman kelompok kanan, 19% pada laman kelompok kiri.
Di Perancis, Alain Juppé pernah mengeluhkan secara terbuka dalam sebuah wawancara dengan Journal du dimanche, bahwa dia menjadi target "omong kosong", di Facebook terutama: "Jejaring sosial adalah semacam sampah alam semesta; di sana saya membaca kebohongan bahwa saya adalah "Ali Juppé", saya akan "menikah dengan seorang muslimah", saya akan menjadi "mufti agung dari Bordeaux", saya akan membangun "masjid terbesar di Eropa" ... " Tim dari para kandidat juga berpikir untuk meluncurkan suatu "sel" pembongkaran rumor yang terinspirasikan oleh rubrik pers "fast-checking", seperti 'Decodeur' dar surat kabar 'Le Monde' atau 'Desintox' dari 'Libération', demikian dijelaskan oleh Eve Zuckerman, kepala kampanye digitalnya.
Menghadapi berbagai kritikan, Zuckerberg bertahan pada posisinya: "Kami adalah perusahaan teknologi, bukan media," ulang pendiri utama Facebook ini pada akhir Agustus lalu, ketika selama lawatannya ke Jerman, beberapa pihak menganggapnya tidak melawan secara aktif berbagai ujaran kebencian di jejaring sosial. Namun pertanyaan tentang tanggung jawab yang harus ditanggung oleh perusahaan sebagai imbalan atas perannya yang terus bertumbuh dalam bidang informasi dan debat publik, kini dengan jelas diajukan. Dan meskipun berbagai wacana yang serupa, Facebook tidak kebal terhadap tekanan: Ia akhirnya melunakkan diri dengan mengizinkan peredaran "Gadis kecil napalm" foto terkenal dari Nick Ut, simbol Perang Vietnam, setelah sensor sebelumnya terkait dengan ketelanjangan. Ia juga meluncurkan, bersama Google dan koalisi yang luas dengan media, proyek 'Firstdraft' yang bertujuan untuk memerangi manipulasi informasi.
Desakan untuk perubahan Facebook, bahkan dari Angela Merkel
Di luar upaya Facebook sendiri, ada berbagai desakan untuk membuat semacam regulasi atau "penyeimbangan" bagi perangkat lunak platform jejaring sosial. "Algoritma Anda harus memberikan ruang bagi pandangan yang berlawanan dan bagi informasi penting, tidak hanya bagi konten yang paling populer atau paling meyakinkan", demikian seru Eli Pariser pada para bos Facebook atau Google, dalam konferensinya di tahun 2011. Namun apakah para pengguna menginginkannya?
Pengetahuan tentang cara kerja algoritma, dan karenanya cara kerja Facebook sendiri, telah menjadi isu demokrasi. "Saya percaya bahwa algoritma haruslah transparan sehingga para pengguna sadar akan efek yang bisa mereka dapatkan atas penggunaan media sosial mereka," demikian tegas Kanselir Jerman Angela Merkel pada pembukaan pekan Media di Munich, 25 Oktober lalu. "Kita harus mengetahui prakonsepsi mereka tentang dunia," demikian pendapat Bruno Patino, direktur editorial Arte. Thieulin dan Cardon, seperti yang lain, menekankan perlunya dikembangkan "budaya kritis" dan "pendidikan" algoritma.
"Setelah masa di mana teknologi membawa kemajuan besar dalam debat publik, kita melihat periode reaksi, demikian pikir Benoît Thieulin. Kita seakan menghadapi penyakit kekanak-kanakan dari jejaring sosial, dengan diskusi real time yang dangkal dan complotisme... Saat ini kita hanya belum menemukan cara ampuh untuk mengobatinya."
Diterjemahkan dari tulisan
Alexander Piquard dan Alexis Delcambre
Comments
Post a Comment